Syekh H. Hamdani Alkaf, S.H., M.H. (H. Salindang Hijau Alkaf) bersama dengan Muhammad Suriadi di ruang tunggu Bandara Internasional Syamsudin Noor Banjarbaru saat hendak berangkat ke Surabaya.
Syekh H. Hamdani Alkaf, S.H., M.H. (H. Salindang Hijau Alkaf) bersama dengan jemaah ziarah ke Makam Sunan Ampel (Raden Rahmat Rahmatullah)
Syekh H. Hamdani Alkaf, S.H., M.H. (H. Salindang Hijau Alkaf) bersama dengan jemaah Ziarah ke Makam Mbah Sholeh Misteri 9 Kematian di Daerah Makam Sunan Ampel
Alhamdulillah mendapatkan kehormatan dari keluarga besar (juru kunci) Sulthan Banten, bisa memasang Mahkota Sulthan Muhammad Syafiuddin Banten di daerah makam Nasional Boto Putih Surabaya Jawa Timur.
Syekh H. Hamdani Alkaf, S.H., M.H. (H. Salindang Hijau Alkaf)
Muhammad Suriadi
Syamsiah
Mutammimah
Syekh H. Hamdani Alkaf, S.H., M.H. (H. Salindang Hijau Alkaf) bersama dengan Muhammad Suriadi berada di Mesjid Nasional Al Akbar Surabaya dan melanjutkan perjalanan ke Blitar ke rumah kediaman Bung Karno dan Ziarah ke Makam Soekarno (Bung Karno)
SUNAN AMPEL : Biografi, Nama Asli, Kisah, Sejarah, Letak Makam
Sunan Ampel merupakan salah satu wali yang berdakwah di tanah Jawa, tepatnya di kota Surabaya. Di masa kecilnya beliau di beri nama Sayyid Muhammad ‘Ali Rahmatullah, namun seusai pindah ke Jawa Timur, masyarakat memanggilanya dengan nama Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Beliau lahir di Champa tahun 1401 Masehi.
Dakwah Sunan Ampel ini bertujuan untuk memperbaiki dekadensi moral (Kemerostoanmoral) masyrakat saat itu. Saat itu dimana beberapa warga sekitar yang dulunya juga merupakan masyarakat abangan yang memang banyak penjudi dan penganut kepercayaan anismisme serta suka dengan yang namnya sabung ayam.
Sunan Ampel merupakan seseorang yang sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dalam perjalanannya ke Trowulan, Ibu kota Majapahit, beliau singgah terlebih dahulu di Palembang dan Tuban untuk menyebarkan Islam di kawasan tersebut. Kehadirannya tersebut merupakan titik balik sejarah keagamaan masyarakat Majapahit dari pemeluk Hindu menjadi Muslim.
Setiap wali memiliki cara yang unik untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam di tanah Jawa, termasuk juga Sunan Ampel yang memiliki b eberapa metode unik untuk menyebar luaskan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Tanpanya, mungkin kisah-kisah penting perjalanan Islam di tanah Jawa tidak akan pernah terjadi.
Daearah Bukhara merupakan salah satu daerah di Samarqand, yang sejak dulu, daerah tersebut dikenal sebagai daerah besar Islam yang melahirkan beberapa ulama-ulama besar, seperti halnya Imam Bukhari. Selain Imam Bukhari dari Samarqand, ada juga ulama besar yang bernama Syekh Jumadil Qubra.
Syekh Jamaluddin Qubra mempunyai seorang putra yang bernama Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), karena berasal dari samarqad masyarakat menyebutnya dengan sebutan Syekh Maulana Malik Ibrahim as-Samarqandi. Saat itu, Syekh Maulan Malik Ibrahim diperintahkan oleh ayahnya untuk berdakwah ke Asia.
Dengan adanya perintah tersebut, kemudian beliau di ambil menantu oleh Raja Champa, yang kemudian dinikahkan dengan putrinya yaitu Dwi Condrowulan. Dari perkawinannya, lahirlah Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Raden Rasyid Ali Murtdha (Raden Santri). Sedangkan adik Dewi Condrowulan atau Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit.
Dengan demikian, Raden Rahmat dan Raden Ali Murtadha merupakan keponakan dari Ratu Majapahit dan tergolong sebagai putera kerajaan atau bangswan kerajaan, dan pada waktu itu mendapatkan gelar Rahadian yang artinya tuanku, atau disebut dengan Raden. Selain itu, beliau memiliki posisi yang cukup kuat di kalangan bangsawan Majapahit.
Raja Majapahit sangat senang mendapat isteri dari Negeri Champa yang memiliki wajah yang cantik serta kepribdian yang menarik, sehingga istri-istri yang lainnya diceraikan olehnya, dan diberikan kepada adipati-adipati yang tersebar di seluruh Nusantara. Kerajaan Majapahit sudah di tinggal oleh Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk yang saat itu mengalami kemunduran drastis.
Kerajaan bisa saja terpecah belah karena terjadinya perang saudara. Selain itu para adipati banyak yang tidak loyal dengan keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabumi. Pajak dan upeti tidak pernah sampai ke Majapahit, namun lebih sering di nikmati oleh adipati itu sendiri, hal ini membuat sang prabu bersedih.
Terlebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk para bangsawan dan para pengeran yang suka berpesta dan bermain judi serta mabuk-mabukan. Prabu Barwijaya Majapahit sadar betul jika kebiasaan ini masih terus berlanjut, negara atau kerjaan menjadi lemah. Dan apabila kerjaan sudah kehilangan kekuasaan, dengan mudah musuh masuk dan menghancurkan kerajaan.
Karena istri dari Prabu Brawijaya Majapahit khawatir dengan kondisi suaminya, ia memberikan saran kepada suaminya, bahwa ia mempunyai seorang keponankan yang ahli mendidik dalam hal untuk mengatasi kemerosotan budi pekerti yang bernama Raden Rahmat. Dan pada tahun 1443 Masehi, beliau datang ke tanah Jawa untuk menemui bibinya, Dwarawati.
Kedatangan Raden Rahmat ke tanah Jawa tidaklah sendiri, beliau di temani oleh ayahnya Sykeh Jumadil Kubra dan kakaknya Sayyid Ali Murtdha. Kemudian mereka terpisah dalam menjalankan misi dakwahnya, yang mana Syekh Jumadi Qubra berada di tanah Jawa, Sayyid Ali Murtadha berada di Samudra Pasai dan Raden Rahmat di Champa, Vietman Selatan.
Kemudian Raden Rahmat melanjutkan perjalannya ke Majapahit, sesampianya di sana beliau di sambut gembira oleh bibinya dan raja. Raja Majapahit memintanya untuk mendidik rakyat jelata dan para bangsawan agar memiliki budi pukerti yang mulia, dan saat itu pula beliau menyanggupi permintaan dari raja Majapahit tersebut.
Menurut beberapa sejarah, beliau menetap tinggal beberapa hari di istana Majaphit, hingga beliau dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yaitu Dewi Condrowati. Dengan demikian disebutkan kalau Raden rahmat juga merupakan menantu dari raja Majapahit atau salah seorang pangeran (Rahadian) yang kemudian beliau lebih di kenal dengan nama Raden Rahmat.
Raden Rahmat mempunyai dua istri yaitu Dewi Condrowati atau Nyai Ageng Manila yang merupakan putri dari adipati Tuban yaitu Arya Teja. Dari pernikahannya ini beliau mempunyai putra dan putri, Maulana Makhdum Ibarahim (Sunan Bonang), Raden Qasim (Sunan Derajat), Siti Syari’ah atau Nyai Ageng Maloka, Siti Mutma’innah dan Siti Hafsah.
Sedangkan pernikahannya yang kedua dengan Dewi Karomah binti Ki Kembang Kuning. Dari pernikahannya ini beliau mempunyai putra-putri Dewi Murtasiyah (istri dari sunan Giri), Dewi Murtasimah (istri Raden Fattah), Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), Raden Zaenal Abidin (Sunan Demak), Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2).
Metode dakwah yang di lakukan oleh Sunan Ampel memang sangat berbeda dengan wali yang lain, metode dakwah dengan masyarakat kelas mengeha ke bawah di lakukan dengan pembaruan dan pendekatan, sedangkan ketika menghdapai orang-orang yang cerdik dan cendikia dengan pendekatakan intelektual dan penalaran logis.
Beberapa para wali lainnya rata-rat menggunakan metode dakwah dengan menggunakan pendekatan seni dan Budaya sebagai media dakwahnya. Namun, Sunan Ampel lebih memilih menggunakan pendekatan intelektual dengaan memberikan pemahaman wacana intelektual dan diskusi cerdas, kritis dan di terima oleh akal manusia.
Pada dasarnya urgentitas budaya sebagai media dkawah alternatif memang tidak bisa untuk di bantah dan dilupakan, karena sejarah juga membuktikan bahwa pendekatan kultur budaya yang dimainkan sunan Kalijaga berhasil membuat ketertarikan tersendiri bagi masyarakatnya, namun pendekatan kultur budaya di nilai lebih releven pada kalangan masyarakat kelas menengah.
Sedangkan untuk obyek intelektual kelas atas, di nilai pas dengen menggunakan jalur yang di tempuh oleh Sunan Ampel. Meski terlihat tersekat- sekat antara masyarakat kelas atas dan bawah, hal tersebut tetap bisa tercapai karena beliau merupakan da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk mengayomi umat.
Selain itu, beliau tetap independen dan konsisten dengan posisinya sebagai ulama’. Karena memang beliau tidak pernah menggunakan alat atau media apapun sebagai kendaraan dakwahnya. Walaupun demikian, inilah keunikan metode dakwah dari Sunan Ampel. Selain itu metode dakwahnya di kenal dengan istilah “ Moh Limo”.
Raden Rahmat bukanlah penduduk asli Jawa. Setelah Syekh Jumadil Kubra (ayahnya) wafat, Sunan Ampel di angkat menjadi sesepuh wali songo. Sebagai Mufti atau pemimpin di tanah Jawa beberapa murid dan anaknya menjadi muridnya. Beberapa putranya sendiri juga merupakan seorang wali yang termasuk juga dalam wali songo.
Dengan di angkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh, maka para wali lain tunduk dan patuh kepada kata-katanya, yang termasuk fatwa beliau dalam memutuskan untuk peperanngan dengan Majapahit. Saat itu, para wali yang lebih muda menilai jika Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan nasihat kepada Raden Patah.
Dikemudian hari, ada orang-orang yang membenci Islam dengan memutar balikkan fakta sejarah yang ada. Mereka membuat tulisan palsu yang menyatakan, bahwa Majapahit telah di serang oleh kerajaan Demak Bintaro yang rajanya merupakan putra raja Majapahit (Raden Patah) yang di anggap sebagai anak durhaka.
Padahal fakta sejarah sebenarnya bukanlah demikian adanya. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat di bandingkan dengan Belanda. Setelah Majaphit jatuh pusaka kerajaan di boyong ke Demak Bintaro. Termasuk mahkotanya, yang kemudian Raden patah di anggap sebagai raja Demak I.
dikutip dari https://thegorbalsla.com/sunan-ampel/
Kisah Mbah Sholeh, tukang sapu Masjid Ampel yang punya 9 makam
Masjid Ampel tak asing lagi bagi warga muslim Indonesia, khususnya Surabaya. Masjid peninggalan Sunan Ampel itu jadi salah satu pusat penyebaran Islam kala itu. Karena sudah dibangun pada zaman Sunan Ampel, tak heran jika masjid ini diposisikan sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia.
Banyak cerita unik yang melekat pada masjid ini. Selain cerita Mbah Bolong yang bisa melihat Kakbah hanya dengan melubangi pengimaman masjid tersebut, ada juga kisah Mbah Sholeh, tukang sapu masjid yang meninggal 9 kali. 9 makam yang terletak di samping Masjid Ampel pun kesemuanya merupakan makam Mbah Sholeh.-Dikisahkan bahwa selain sebagai santri Sunan Ampel yang taat dan setia, Mbah Sholeh merupakan santri yang rajin sebagaimana dikutip brilio.net dari buku “Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual” terbitan Kompas, Senin (22/6). Sifat rajinnya itu ditunjukkan dengan tak pernah melewatkan harinya untuk membersihkan masjid. Bahkan bisa dikatakan dia adalah tukang sapu atau tukang bersihnya masjid.
Mbah Sholeh memang sangat terkenal sebagai sosok yang biasa menjaga kebersihan. Hal itu banyak diakui teman sesama santri dan juga Sunan Ampel, gurunya sendiri.-Hingga suatu hari ajal datang menjemput Mbah Sholeh. Jasadnya kemudian dimakamkan di samping masjid. Sepeninggal Mbah Sholeh, Sunan Ampel tak juga menemukan sosok pengganti yang bisa serajin Mbah Sholeh. Masjid jadi kurang terurus dan kotor. Saat itulah Sunan Ampel tiba-tiba ingat dengan Mbah Sholeh dan bergumam dalam hari. “Kalau Mbah Sholeh masih ada, masjid pasti bersih,” gumam Sunan Ampel.-Seketika itu tiba-tiba sosok serupa Mbah Sholeh muncul dan menjalankan rutinitas yang biasa dilakukan Mbah Sholeh, yakni membersihkan masjid. Tapi tak lama sosok itu meninggal lagi dan dimakamkan di samping makam Mbah Sholeh sebelumnya.-Peristiwa tersebut terulang hingga sembilan kali. Menurut cerita, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel wafat. Setiap meninggal, Mbah Sholeh selalu dimakamkan di samping makam yang sebelumnya. Karena meninggal hingga 9 kali, maka makamnya yang ada di samping Masjid Ampel pun ada 9.
Dikutip dari https://www.brilio.net/news/kisah-mbah-sholeh-tukang-sapu-masjid-ampel-yang-punya-9-makam-150622t.html#
Maulana Muhammad Shafiuddin dari Banten
Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin, juga dikenal dengan nama Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin, merupakan seorang sultan pada Kesultanan Banten yang berkuasa di Banten dalam rentang waktu 1809-1813.
Sultan Muhammad Syafiuddin merupakan salah seorang putera dari Sultan Muhammad Muhyiddin Zainussalihin. Ia naik takhta menggantikan Sultan Aliuddin II setelah sebelumnya posisi sultan diwakilkan oleh Caretaker Sultan Wakil Suramenggala, karena Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin belum cukup dewasa.
Pada masa kekuasaannya, Kesultanan Banten telah begitu lemah, akibat tekanan dari beberapa kekuatan global yang silih berganti memengaruhi Kesultanan Banten. Sebelumnya pada 22 November 1808, Herman Willem Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kemudian pada masa pemerintah kolonial Inggris, sekitar tahun 1813, Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles, sekaligus mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Dengan dibuangnya Sultan Banten Aliyuddin II, maka dari keluarga besar Trah Kesultanan Banten dilantiklah pewaris tahta putra Sultan Penuh Banten ke-14 sebagai Sultan Penuh Banten ke-17 dari garis ibu yang permaisuri (Ratu Aisiyah), kembali sesuai keutamaan pakem pewaris tahta kesultanan Banten, dengan gelar Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin. Beliau adalah saudara sepupu Sultan Penuh Banten ke-15 dan ke-16. Beliaulah yang merupakan Sultan Penuh Terakhir Banten Berdaulat dari garis keturunan pewaris tahta resmi Kesultanan Banten. Dikarenakan dianggap belum dewasa dan masih dalam tahap pendidikan dan persiapan kepemimpinan sebagai Sultan maka secara administratif diangkatlah care take Sultan Wakil Pangeran Suramenggala yang menjabat tahun 1808-1809. Dalam sebagian penulisan sejarah Kesultanan Banten yang menyertakan para care taker Sultan Wakil sebagai Sultan Banten; caretaker Sultan Wakil Pangeran Suramenggala kerap ditulis sebagai Sultan Banten ke-19, sebelumnya Sultan Penuh Banten ke-16 diurutkan sebagai Sultan Banten ke-18 dan Sultan Penuh Banten ke-17 kerap ditulis sebagai Sultan Banten ke-20.
Ketika telah dewasa Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin menikah dengan Ratu Putri Fatimah binti Pangeran Ahmad bin Sultan Aliyuddin I (Sultan Penuh Banten ke-13) sebagai penanda pengakuan keluarga dari keturunan Sultan Aliyuddin I atas hak dan sahnya Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sebagai pewaris tunggal Kesultanan Banten. Dikarenakan ketidak puasan rakyat terhadap Belanda yang menindas, sering terjadi perlawanan kepada Belanda, untuk melemahkan perlawanan rakyat, Banten dibagi kedalam tiga daerah yang statusnya sama dengan kabupaten yakni : Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin kala itu ditunjuk Belanda untuk memimpin Banten Hulu. Sedangkan untuk kepentingan politis, Belanda juga menunjuk suami dari bibi Sultan Shafiuddin, yakni Joyo Miharjo dari Rembang suami Ratu Arsiyah bibi Sultan Shafiuddin sebagai, sebagai Bupati Banten Hilir dengan gelar Sultan Tituler Bupati Muhammad Rafiuddin. Hal ini membuat beberapa kesalahan dalam penulisan sejarah Kesultanan Banten bahwa Sultan Terakhir Kesultanan Banten adalah Sultan Rafiuddin yang disalah kira sebagai anak Sultan Shafiuddin. Padahal Rafiuddin bukan pewaris sah keturunan para Sultan Banten melainkan orang Rembang yang diberikan pangkat (Tituler) oleh Belanda sebagai Bupati dengan Gelar Sultan Bupati.
Adapun anak-anak dari Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin adalah :
- Pangeran Surya Kumolo
- Pangeran Surya Kusumo
- Ratu Ayu Kunthi
- Pangeran Timoer Soerjaatmadja
Anak-anak Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sempat disalah kira dalam beberapa penulisan sebagai anak dari Sultan Tituler Bupati Rafiuddin. Hal ini dikarenakan masyhur dikenal bahwa merekalah anak-anak Sultan Terakhir Banten, namun terjadi kesalah fahaman mengenai Sultan Terakhir Banten yang resmi dari trah Kesultanan Banten yang semestinya pada Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin, bukan pada nama Rafiuddin dari Rembang yang sekadar Sultan Tituler Bupati yang diangkat Belanda dan bukan dari keturunan para Sultan Banten.
Semenjak tahun 1809, Wilayah Kesultanan Banten sudah banyak diotak-atik penjajah Asing dengan pembagian-pembagian wilayah yang meminimalisir kekuatan pengaruh Kesultanan Banten dan untuk memperlemah perlawanan Rakyat Banten yang seringkali terus melawan. Pada saat terjadi peralihan kekuasaan di Nusantara dari Belanda kepada Inggris, diakibatkan kekalahan Napoleon Bonaparte dari Prancis kepada Inggris. Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles dari pemerintahan Inggris tahun 1813 membagi wilayah Banten menjadi 4 Kabupaten yakni Banten Lor (Banten Utara kelak menjadi Kabupaten Serang), Banten Kidul (Banten Selatan kelak menjadi Kabupaten Caringin yang pada tahun 1907 masuk kedalam Kabupaten Pandeglang), Banten Tengah (Kelak menjadi Kabupaten Pandeglang) dan Banten Kulon (Banten Barat kelak menjadi Kabupaten Lebak). Pada tahun 1816 kekuasaan dikembalikan dari Inggris kepada Belanda.
Pada tahun 1832, dikarenakan adanya perlawanan dari rakyat Banten yang terus menerus kepada pemerintah Hindia Belanda, terutama dengan adanya Bajak Laut Selat Sunda. Pemerintah Belanda menganggap adanya bantuan Kesultanan Banten dalam perlawanan tersebut, sehingga pada tahun tersebut Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin dan keluarga dibuang Belanda ke Surabaya hingga wafatnya pada tahun 1899 dan dimakamkan di Pemakaman Boto Putih Surabaya di seberang pemakaman Sunan Ampel.
Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Maulana_Muhammad_Shafiuddin_dari_Banten
Masjid Al-Akbar
Masjid Nasional Al Akbar (atau biasa disebut Masjid Agung Surabaya) ialah masjid terbesar kedua di Indonesia yang berlokasi di Kota Surabaya, Jawa Timur setelah Masjid Istiqlal di Jakarta. Posisi masjid ini berada di samping Jalan Tol Surabaya-Porong. Ciri yang mudah dilihat adalah kubahnya yang besar didampingi 4 kubah kecil yang berwarna biru. Serta memiliki satu menara yang tingginya 99 meter.
Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan Wali Kota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan Masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Namun karena krisis moneter pembangunannya dihentikan sementara waktu. Tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan selesai tahun 2001. Pada 10 November 2000, Masjid ini diresmikan oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid.
Secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah 22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor di Syah Alam (Malaysia). Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid tinggi dan besar dan mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.
Rancang bangun arsitektur MAS dikerjakan oleh tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bersama konsultan ahli yang telah berpengalaman membangun masjid-masjid besar di Indonesia. Mengingat posisi lahan yang labil dengan tingkat kekerasan yang minim, maka pembuatan pondasi dilakukan dengan system pondasi dalam atau pakubumi. Tidak kurang dari 2000 tiang pancang bagi pondasi masjid ini.
Lantai dirancang dengan ketinggian 3 meter dari permukaan jalan sekitar lokasi. Namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami perubahan, ruang urugan dijadikan basement, lantai di atas basement (lantai 1) disangga dengan tiang-tiang (sistem flooting floor). Pengerjaan lantai dibuat dengan sistem pengecoran ditempat dan beton precast, terdiri dari plat lantai empat persegi panjang berukuran 3 x 3 meter dan tebal 15 cm.
Untuk dudukan struktur atap disiapkan, balok beton (ringbalk) dengan sistem vierendeel yang menghubungkan kolom-kolom struktur pada ketinggian 20 m dari atas lantai dasar (lantai 1). Ringbalk ini membentang 30 m tanpa kolom, sehingga bidang lantai tidak terpisah oleh sekat maupun kolom, dengan demikian dijamin bahwa jamaah tidak saling terpisah oleh sekat maupun kolom pada waktu sholat.
Rangka kubah dibuat dengan sistem space frame, menggunakan bahan besi baja dengan sistem chremona atau struktur segitiga yang disambung-sambung. Selanjutnya kubah dibentuk di atas rangka atap dengan bentangan utama berukuran 54 x 54 meter, tanpa ada tiang penyangga. Bobot kubah tersebut hampir mencapai 200 ton. Keunikan bentuk kubah ini ditunjang dengan bentuk kubah yang menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer memiliki tinggi sekitar 27 meter. Kubah ini menumpu pada atap piramida terpancung dalam 2 layer setinggi kurang lebih 11 meter.
Penutup struktur rangka atap dan kubah terdiri dari tiga lapis yaitu Atap Kedap Air (AKA), ESP sebagai cover atap terluar, dan penutup plafon. AKA ini adalah dalam bentuk segmen-segmen yang menumpu pada konstruksi space frame yang ada dibawahnya. Sedangkan ESP adalah Enamel Sheet Panel merupakan plat baja yang dicoating atau diwarnai, kemudian dipanaskan hingga 800 derajat Celcius, selanjutnya plat dipotong-potong dengan ukuran tertentu dan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan ukurannya yang pada akhirnya berfungsi sebagai cover penutup atap. ESP ini didesain khusus untuk atap Masjid Nasional Al Akbar Surabaya dengan kemampuan tahan panas dan hujan serta tahan karat, diharapkan akan mampu berfungsi sampai 50 tahun lebih. Kemudian penutup rangka bawah yang berfungsi sebagai plafon ditutup dengan bahan kedap suara, sehingga akustik pada bangunan ini didesain dengan sangat memadai. Kesemuanya elemen penutup rangka atap tersebut telah teradopsi dari Masjid Raya Selangor (Masjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz) di Syah Alam, Malaysia.
Masjid ini memiliki 45 pintu dengan daun pintu (bukaan) ganda yang berarti dibutuhkan 90 daun pintu dengan ukuran masing-masing : lebar 1,5 m dan tinggi 4,5 m. Pintu terbuat dari kayu jati yang didatangkan khusus dari Perhutani dan dibuat oleh para pengrajin dari Surabaya. Kusen terbuat dari rangka besi dilapisi kayu yang dihubungkan ke engsel maupun slot yang telah diselaraskan dengan struktur dan estetika masjid. Karena berat daun pintu ini lebih dari 250 kg, maka engsel didesain dan dibuat secara khusus.
Untuk memenuhi kenyamanan, estetika serta keserasian keseluruhan bangunan masjid, maka marmer dari Lampung dipilih untuk pelapis dinding dan lantai ruang dalam masjid, sehingga dukungan dari lantai terasa sekali ruangan menjadi sejuk dan kusuk. Kaligrafi merupakan unsur penting dalam desain masjid ini, karena sentuhan kaligrafi inilah yang memberi sentuhan nuansa Islami. Bahan yang digunakan untuk kaligrafi tersebut terbuat dari kayu jati dengan finishing cat sistem ducco. Sedangkan perancangnya adalah seorang ahli kaligrafi nasional yaitu Bapak Faiz dari Bangil.
Mimbar dibuat dengan ketinggian 3 meter untuk mendukung kemantapan khotbah. Agar tercipta suasana khas, mimbar diberi sentuhan etnis dengan hiasan ornamen Madura yang digarap para pengrajin dari Madura.
Dalam rancangannya menara tadinya berjumlah 6 buah, namun karena pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis maupun biaya, maka menara hanya dibuat satu. Untuk membangun menara masjid ini digunakan teknologi Slip Form dari Singapura yang memerlukan waktu sekitar 2 bulan dalam pengecorannya. Menara ini memiliki ketinggian 99 meter yang puncaknya dilengkapi dengan view tower pada ketinggian 68 meter yang dapat memuat sekitar 30 orang dan pencapainnya dengan menggunakan lift untuk melihat pemandangan kota Surabaya.
Aula dibangun dengan konsep kesatuan antara estetika lingkungan dan fungsi plaza sebagai lapangan ibadah, untuk ibadah tertentu seperti sholat Ied dan lain-lain. Luas plaza kurang lebih 520 m2, dengan bahan lantai paving stone, yang didesain khusus untuk Masjid Nasional Al Akbar Surabaya, motif desain dibuat sesuai dengan ornamen arsitektur masjid, garis motif dibuat sejajar dengan garis shaf di halaman masjid.
Elemen arsitektur MAS juga didesain sedemikian rupa, untuk mencapai keindahan, kemewahan serta keanggunan. Antara lain elemen hiasan kaca patri (steined glass). Hiasan kaca patri yang digunakan masjid ini dibuat dengan sistem triple glazed unit. Yaitu pelapisan panel kaca patri atau panel bevel dengan kaca tempered yang menggunakan bahan dan mesin-mesin buatan Amerika. Triple glazed unit ini selain menghemat biaya, juga sangat baik untuk keperluan peredam suara bising.
dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Al-Akbar